Jumat, 07 Juli 2017

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H

Olif mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H.
Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT.
Aamiiin.

Blog ini aktif kembali setelah 2 tahunan vakum.
(mohon maaf *hehe)

Sabtu, 8 Juli 2017
Pukul 09:56 WIB

Kamis, 02 Juli 2015

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa

Semoga Allah memberkati setiap amalan yang kita kerjakan. Amin.

Jumat, 12 September 2014

RESENSI BUKU "SISTEM POLITIK INDONESIA Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru" karangan PROF. DR. KACUNG MARIJAN

METAMORFOSIS SISTEM POLITIK INDONESIA


Judul Buku
SISTEM POLITIK INDONESIA Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru
Pengarang
PROF. DR. KACUNG MARIJAN
Penerbit
Kencana Prenada Media Group
Tebal
xxii, 364 hlm
Tahun Terbit
Cetakan ke-3, Juni 2012
Resensator
Khusnul Kholifah

Buku yang disusun oleh PROF. DR. KACUNG MARIJAN ini menjelaskan seluk beluk tentang sistem politik mulai dari pengertian, budaya politik, fungsi, struktur, proses, masalah dan prospek dari sistem politik di Indonesia yang dibagi menjadi tiga bab besar yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutup dan arah demokrasi Indonesia.
Politik memang selalu berkaitan dengan kondisi suatu negara, dalam hal ini negara Indonesia yang menjadi perbincangan utama sesuai dengan judul yang ditulis yakni sistem politik Indonesia. Dalam hal ini terdapat transfer kekuasaan yang berlangsung pada saat lengsernya Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 kepada wakilnya B. J. Habibie. Namun, dalam praktiknya dari krisis yang terjadi hingga melengserkan presiden Suharto tetap saja tidak mengubah banyak keadaan perpolitikan di Indonesia. Menurut Herbert Feith, ada agenda utama yang harus diwujudkan untuk mewujudkan ketertiban nasional dan politik. Yaitu: political order, social order, economic order, legal order, dan security order
Kecenderungan Indonesia terjebak pada sistem politik otoriter adalah adanya sentralitas kekuasaan. Dimana hal ini tidak memisahkan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Untuk itulah sejak lengsernya Suharto diadakan amandemen pada UUD yang mengatur tentang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Adanya amandemen mulai tahun 2004, presiden dan seluruh anggota MPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Hal ini dilakukan agar tidak terulangnya kekuasaan otoriter seperti zaman Suharto. Demikian juga agar terdapat mekanisme cheks and balances yang seimbang dan terjadinya akuntabilitas serta berjalannya sistem perwakilan yang ada antara yang terwakili dan yang diwakili.
Sebagai negara yang masih dalam proses menuju demokrasi yang sesungguhnya, Indonesia tidak lepas dari fenomena-fenomena munculnya partai-partai baru. Untuk itulah Indonesia mulai tahun 2008 menggunakan sistem parliamentary threshold (PT), yakni di dalam sistem ini hanya partai-partai yang memperoleh suara minimal 2,5% saja yang mampu menarik kursi di DPR. Karena itulah dimungkinkan hanya kurang dari 10 partai saja yang dapat meraihnya. Tetapi hal ini hanya berlaku pada tingkat pusat. Sehingga partai yang gagal masih memungkinkan untuk mengikuti pemilu pada periode berikutnya atau memperoleh kursi di daerah. Dan dalam buku ini juga disebutkan bahwa apabila sistem threshold diterapkan, maka sistem kepartaian yang muncul adalah sistem kepartaian multipartai moderat.

Sistem Baru
Demokrasi juga ditandai oleh adanya 3 prasyarat: kompetensi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, partisipasi masyarakat dan adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Hal inilah juga perlu didukung oleh sistem pemilu yang mumpuni, yang dalam buku ini diterangkan dengan penjelasan instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon. Dan di dalam sistem politik dan pemilu di Indonesia sistem pluralitas/mayoritas lebih dikenal sebagai sistem distrik. Yang sejak pemilu 1995 Indonesia mulai menganut sistem proporsional dalam pemilu dan menggunakan sistem penyuaraan yang dari hanya memilih partai ke memilih partai dan calon yang ada di dalam daftar partai dan alokasi suara berdasarkan perolehan, bukan hanya nomor urut. Dengan perubahan besar pula yakni memilih presiden dan wapres langsung sejak 2004 dan kepala serta wakil kepala daerah yang dipilih langsung sejak 1 Juni 2005.
Budaya politik yang berkembang di masyarakat juga menentukan stabilitas dan kelangsungan politik yang berjalan. Seperti tingkat kepercayaan (trust) masyarakat pada pemerintah dan budaya politik warga masyarakat dapat menompang terjadinya “governmental power dan governmental responsiveness” di dalam sistem perwakilan menurut Almond dan Verba (1963:18). Hal ini juga berkaitan dengan budaya politik yang ada dalam masyarakat yang masih bercorak patronclient, serta perilaku pemilih yang semata-mata bercorak “voluntary” serta “transaksi material” juga menyuburkan terdapatnya disconnect electoral dimana wakil yang terpilih hanya berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya transaksi kebijakan pada masa yang akan datang untuk membuat politik Indonesia yang lebih baik.
Untuk mendukung itulah perlu adanya pemeritahan yang accountability dan responsibility. Maka di banyak negara, khususnya negara berkembang banyak menggunakan sistem desentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar alokasi penyediaan barang-barang dan pelayanan publik akan menjadi lebih efisien, dan mendorong demokratisasi di daerah. Meskipun demikian, masih ada sisi negatif dan positif dari desentralisasi itu sendiri, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 tentang kebijakan otonomi daerah. 
Untuk itulah perlu dipakai satu cara untuk mengefektifkan kebijakan desentralisasi, yaitu dengan meletakkannya dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih dinamis. Apabila hal ini sudah terwujud, maka bukan tidak mungkin otonomi daerah akan berjalan dengan baik. Menurut Burn, Hambleton dan Hoggett (1994) upaya untuk meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal dapat di tempuh dengan empat pendekatan yaitu melalui perbaikan sistem demokrasi perwakilan (improving representative democracy), memperluas cakupan demokrasi perwakilan (extending representative democracy), melibatkan demokrasi partisipatoris kedalam demokrasi perwakilan (infusing representative with participatory democracy) dan memperluas demokrasi partisipatory (extending participatory democracy). Hal ini untuk mendukung tujuan dari otonomi daerah yang ada dalam UU Nomor 5 tahun 1974, yakni untuk menjaga integrasi nasional, demokratisasi dan efisiensi, efektivitas proses pemerintahan, manajemen pembangunan dan pelayanan pembangunan dan pelayanan di daerah. 
Menurut Brian C. Smith, munculnya transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998: 85-86). Dan Smith mengemukakan empat alasan pandangan tersebut yakni, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyaarakat yang demokratis, pemerintah daerah bisa menjadi pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat, kualitas partisipasi di daerah dianggap lebih baik jika dibandingkan apabila terjadi di hanya pusat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan apabila pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Namun, hal ini akan terhambat apabila adanya patronase kepentingan di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumber-sumber politik dan ekonomi di daerah kepada kelompok-kelompok tertentu saja. 
Untuk menjembati hal yang memisahkan antara masyarakat, DPR dan pemerintah, maka diadakan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah langsung, DPR maupun DPD langsung. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan antara masyarakat dan pemerintah serta DPR dan kepala daerahnya. Relasi antara kepala daerah dengan rakyat secara teoritis, bisa lebih baik lagi karena para kepala daerah dituntut memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Dan Pilkada yang di adakan secara langsung juga dapat melahirkan relasi baru antara Kepala Daerah-DPRD. Yang akan memunculkan tiga pola yaitu “executive heavy”, “checks and balances” dan “legislative heavy”. 
Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia berusaha untuk mereformasi birokrasi yang telah ada, yakni membawa birokrasi netral agar tidak seperti yang terjadi pada masa Orba, saat terjadi otoritarisme. Keinginan untuk membawa birokrasi netral secara politik dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap birokrasi. Seperti adanya intervensi politik di dalam penempatan jabatan-jabatan di dalam birokrasi, adanya penyalahgunaan atas sumber-sumber keuangan dan fasilitas-fasailitas publik yang dimiliki oleh birokrat, membuat terjadinya pemihakan-pemihakan kepada kelompok tertentu yang sealiran dengan para birokrat yang bersangkutan.
Dalam taraf tertentu, upaya–upaya yang dilakukan untuk reformasi birokrasi sudah membawa hasil yang cukup berarti seperti mulai berkurangnya fenomena pelibatan dan penggalangan dukungan politik melalui birokrasi sangat minim, jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada zaman ORBA. Namun, masih tidak dapat dipungkiri bahwa politisasi birokrasi tidak dapat dihindari. Hal ini berkaitan dengan sifat dasar birokrasi yang tidak lepas dari banyaknya kepentingan dan birokrasi tidak semata-mata bertindak untuk kepentingan publik semata, karena adanya faktor tarikan dari pejabat politik yang terpilih atau berkuasa. Dan usaha untuk meningkatkan pelayanan publik terus dilakukan dengan cara kebijakan desentralisasi, dengan desentralisasi terdapat transfer urusan pemerintahan pusat ke daerah dan juga kepegawaian hingga diharapkan meratanya pelayanan publik sehingga merangsang kreativitas daerah hingga adanya lembaga “one stop Service” di dalam pengurusan perizinan hingga dapat mewujudkan birokrasi yang profesional.
Relasi antara militer dan politik di dalam suatu negara pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari karakteristik sistem politiknya. Di negara otoriter atau totaliter, pengaruh militer di dalam kehidupan politik sangat besar dan merupakan bagian terpenting dari kekuasan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti di negara militer. Sementara di negara demokrasi pengaruh militer cenderung mengecil karena adanya paradigma supremasi sipil atas militer. Militer dengan demikian berada di bawah kendali sipil.
Militer dapat tetap berintervensi dalam dunia politik tatkala adanya suasana sistem politik yang sedang berlangsung tidak stabil. Militer memiliki ruang yang lebih leluasa untuk masuk ke wilayah politik di negara-negara yang tergolong lemah, dalam kondisi tidak stabil dan terjadi pembusukan politik. Dengan alasan membuat stabilitas, permintaan, dan legitimasi atau ketika konsep NKRI dianggap dalam bahaya. Antara militer dan sipil terdapat relasi yang saling terkait dalam demokrasi seperti tentara profesional, dimana kontrol dilakukan oleh sipil melalui pemaksimalan profesionalisme di dalam tubuh militer. Cara demikian dilakukan agar tentara merasa dihargai atas kemampuan yang dimilikinya. Dalam hal ini membutuhkan reformasi dalam tubuh militer atau TNI, dan reformasi dalam tubuh TNI atau militer ini berasal dari berbagai tuntutan kelompok, mulai dari kelompok civil society sampai political society.
Berbicara tentang sistem suatu negara tidak dapat dilepaskan dari sistem perekonomianya pula. Pasca lengsernya Orde Baru, kekuasaan negara terfragmentasi secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal terjadi karena adanya kebijakan otonomi daerah dan terfragmentasi horizontal karena tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan di dalam proses-proses politik. Namun, hal ini tidak menjadikan Indonesia menjadi negara kapitalis yang berasas ekonomi pasar bebas. Adanya patronase dalam politik, serta menguatnya kekuatan-kekuatan di luar negara membuat Indonesia cenderung menuju arah “Patrimonial Oligarchic State”, dimana kekuatan yang mengendalikan pasar memperoleh keuntungan yang lebih besar dari yang lainnya. Dan karena hal ini, negara berusaha membuat kebijakan yang lebih berimbang, yakni yang menguntungkan banyak pihak, sebagai mana yang terjadi dalam negara “embedded autonomy”.

Pers Terlibat
Media massa memiliki perngaruh yang sangat besar terhadap jalannya pemerintahan, mengingat media massa juga berfungsi sebagai media kontrol atas kinerja pemerintah dan penyambung jalan antara aspirasi masyarakat kepada pemerintahan. Mengingat peran dan posisi media massa yang begitu penting, keberadaannya sering dikaitkan dengan demokratis tidaknya suatu negara. Sistem politik yang demokratis memungkinkan media massa lebih bebas. Media massa berperan sebagai lembaga yang aktif di dalam mendorong terjadinya proses demokratisasi dan berpengaruh besar dalam negara demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jaw W van Deth bahwa terdapat 4 teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media massa yaitu:
  1. Teori penguatan (reinforcement) yaitu teori yang menjelaskan bahwa pengaruh media massa itu minimal.
  2. Teori setting agenda yaitu teori yang menjelaskan bahwa media massa dianggap tidak dapat menentukan apa yang kita pikirkan. Media massa dianggap dapat dan memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan.
  3. Teori priming dan framing yaitu teori priming menjelaskan bahwa media dapat mempengaruhi karna lebih fokus pada isu-isu tertentu bukan yang lainnya sementara teori framing mempengaruhi menjelaskan bahwa media melakukan set up untuk mempengaruhi penafsiran pembaca pemirsa dan pendengar tentang suatu isu dalam makna tertentunya.
  4. Teori efek langsung yaitu teori yang menjelaskan bahwa media dipandang memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk di dalam perilaku politik. Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara.

Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik pada kenyataannya berkaitan dengan corak sistem politik suatu negara. Hal ini juga pernah diargumentasikan oleh Siebert, Peterson, dan Schramm (1963), yang mengelompokkan pers menjadi 4 sistem, yakni:
  • Sistem pers otoriter yaitu sistem pers yang berfungsi menunjang negara. Pemerintah secara langsung menguasai dan mengawasi berbagai kegiatan media massa. Kebebasan pers bergantung pada penguasa yang memiliki kekuasaan yang mutlak.
  • Sistem pers liberal yaitu sistem pers yang diberi kebebasan seluas luasnya sebagai arena untuk mencari kebenaran tetapi kebenarannya bersifat tidak mutlak dan dikendalikan oleh kelompok tertentu.
  • Sistem pers komunis yaitu sistem pers merupakan alat media massa pemerintah atau partai komunis yang berkuasa dan merupakan bagian integral dari Negara.
  • Sistem pers tanggung jawab sosial yaitu sistem yang dianggap memiliki kebebasan tetapi kebebasannya tidak mutlak karena pers dituntut memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.
Karena demikian pers memiliki kecenderungan untuk memiliki paradoks di dalam dirinya. Yakni harus merefleksikan suara masyarakat, menjaga keberlangsungan demokrasi, dan terkadang tidak kuasa untuk memihak kepada pihak-pihak tertentu.
Meskipun tidak seperti dalam revolusi politik, perubahan-perubahan kelembagaan politik pasca jatuhnya Orba berlangsung cukup cepat. Kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat (civil society) maupun kelompok politik (political society) yang sudah ada melakukan rekonstruksi sendiri-sendiri bahkan kelompok yang merasa dipinggirkan oleh partai yang sudah ada juga berusaha membentuk partai baru. 
Meskipun demikian, partai-partai Islam dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu formalist Islamic parties dan pluralist Islamic parties. Formalist Islamic parties adalah partai-partai yang memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan negara diantaranya adalah PPP dan PKS. Sedangkan pluralist Islamic parties adalah partai-partai yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam di dalam konteks negara bangsa Indonesia yang plural diantaranya PKB dan PAN. Tidak hanya kelompok Islam yang mengembangkan ideologi, namun kelompok-kelompok yang beraliran di luar Islam juga ikut berkompetisi. Contohnya dengan muncul partai Buddhis Demokrat (Budha), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (Kristian), dan lain-lain. namun banyak yang tidak lolos dalam threshold
Secara umum, sekularisme adalah adanya pemisahan antara domain negara dengan domain agama. Negara merupakan domain publik sementara agama merupakan domain privat. Tetapi relasi antara agama dan politik tidak sepenuhnya berlangsung linier. Pada kenyataannya, proses modernisasi tidak berarti adanya peninggalan agama di dalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Selain munculnya partai-partai politik yang berbasis agama, juga bermunculan kelompok kepentingan yang berbasis agama. 
Munculnya kembali kekuatan politik berbasis agama atau menguatnya pengaruh agama di dalam proses politik merupakan bagian dari paradoks di dalam perkembangan demokrasi. Hal ini terjadi karena makna demokrasi telah direduksikan semata-mata sebagai instrumen untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilu. Hal ini juga dapat dianggap wajar mengingat Indonesia yang berusaha menjalankan demokratisasi.
Seiring dengan gelombang demokratisasi, suatu negara memang relatif mudah mengalami transasi menuju demokrasi. Tetapi transisi semacam itu tidak menjanjikan bahwa negara akan secara terus menerus dalam kerangka demokrasi. Karena itu, semua negara yang berproses menuju demokrasi selalu menghadapi masalah konsolidasi demokrasi. 
Pada kenyataannya, dalam konsolidasi demokrasi sederhana, demokrasi yang dihasilkan lebih pada demokrasi prosedural dan lebih menekankan adanya pemenuhan elemen-elemen dasar yang harus ada di dalam negara demokrasi. Akan tetapi, demokrasi demikian belum tentu mampu menyentuh kepentingan bersama, orang-orang yang menjadi bagian dari negara demokrasi. Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami proses pelembagaan demokrasi yang cukup bermakna. Dimulai dari adanya penataan pembagian kekuasaan yang memungkinkan terjadinya proses checks and balance, pelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu, sampai yang berkaitan dengan relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, masih banyak kekurangan yang harus segera diatasi. Demokratisasi dikatakan terkonsolidasi apabila terdapat regularitas, adanya rutinitas dan berkesinambungan di dalam mekanisme berdemokrasi. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya akan menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.
Setelah beberapa kali membaca dan mencoba untuk mengerti tentang segala hal yang berkaitan dengan sistem politik Indonesia pasca Orba, di dalam buku Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Pasca Orde Baru ini, kita dapat mengetahui banyak hal dalam politik yang ada di Indonesia, mulai dari sejarah bangsa hingga politik Indonesia pada masa yang akan datang yang diprediksi akan menjadi seperti apa. Dalam buku ini banyak hal yang menarik, diantaranya karena buku ini menyediakan dan menjelaskan proses dan kejadian politik pada masa lalu dan juga pasca Orde Baru dengan lengkap, menyajikan data dengan daftar singkatan pada awal-awal halaman utama untuk dapat lebih mudah dipahami.
Menyediakan penutup dan pendahuluan pada tiap bab, sehingga membantu dalam mengerti isi dan tujuan bab per bab yang disuguhkan. Dan menyusun bab awal sampai akhir dengan runtun mulai dari asal mula dan awal demokrasi terjadi hingga pada akhir, yakni bagaimana kedemokrasian yang ada dalama Indonesia setelah Orba. Juga dengan menyertakan argumentasi dari banyak pemikir politik yang termasyur mulai dari zaman romawi kuno hingga zaman modern dengan perbandingan pada kondisi yang ada saat ini. Dan juga mempunyai sisi kritis yang tajam atas apa yang terjadi pada perpolitikan Indonesia dengan sudut pandang yang berbeda-beda sehingga tidak terpaku pada satu sisi saja.
Namun, hal ini menjadi sedikit terganggu dengan beberapa kelemahannya, seperti pencampuran bahasa Inggris yang hampir menyeluruh dan tanpa terjemahan yang memadai sehingga menyulitkan bagi pelajar baru yang pemula dalam memahami politik apabila tidak didukung oleh kemampuan berbahasa Inggris yang cukup. Dan catatan kaki yang terdapat di nilai kurang dalam menerangkan sumber yang diambil. Juga penggunaan bahasa asing yang dominan dan digunakan untuk menerangkan perpolitikan Indonesia tanpa filter bahasa Indonesia, dan kadang kala penerangan dan penjelasan yang berbelit dan mengulang membuat buku ini kadang membuat jenuh. Juga tidak adanya gambar otentik dan sejarah yang menompang, membuat buku ini kurang menarik bagi pembaca pemula.
Dengan demikian para pembaca akan dipandu dengan komprehensif sehingga apa yang diperlukan untuk memahami sistem politik Indonesia yang kompleks dapat dilakukan. Melalui buku ini, PROF. DR. KACUNG MARIJAN seolah-olah ingin membimbing dan menginformasikan para pembaca untuk mengikuti sedetail mungkin sebuah proses rumit tentang sistem politik Indonesia konsolidasi demokrasi pasca-orde baru.

Daftar Pustaka

Abuza, Zachary, Political Islam and Violance in Indonesia, Roudledge: London, 2007.
Kompas, “Sistem Pemilihan: Presiden Usulkan Pemilu Tanpa Nomor Urut Calon”, 14 Desember 2006.
Marijan, Kacung, Dinamika Konflik di Partai Demokrasi Indonesia, Jurnal Ilmu Politik, 13: 33-45, 1993.
Marijan, Kacung, Otonomi Daerah dan Masalah Demokratisasi di Daerah, Jurnal Studi Indonesia, 3 (1), 2003.
Surbakti, A. Ramlan, Perbandingan Sistem Politik, Mecphiso Grafika: Surabaya, 1984.