Selasa, 25 Juni 2013

STUDI ISLAM KONTEMPORER



REVIEW BUKU
Judul                           : Studi Islam Kontemporer               Jumlah Halaman       : xii, 228 Halaman
No. ISBN                    : 978-979-9430-84-7                          Dimensi (L x P)         : 14 x 21 cm
Penulis                       : M. Rikza Chamami, M.SI               Jenis Kertas               : HVS
Penerbit                      : Pustaka Rizki Putra                       Teks                             : Bahasa Indonesia
Cetakan Pertama      : Desember 2012                                Jenis Huruf                : Times New Roman

STUDI ISLAM KONTEMPORER
Khusnul Kholifah*
*Reviewer
Studi Islam menjadi sangat penting baik di kalangan umat muslim maupun non muslim. Sebuah fakta yang harus diakui bahwa nilai-nilai Islam pernah mengukir sejarah peradaban dunia ini, diantaranya peradaban Islam dari Damaskus, Kordoba, dan Tunisia, selama beberapa abad lamanya mampu mengguratkan tinta emas kebesaran peradaban dan kebudayaan umat manusia yang begitu gemilang. Apalagi Islam diturunkan tidak hanya untuk satu kaum atau satu golongan saja, justru Islam diturunkan untuk seluruh alam ini.
Agama pada kenyataannya menjadi wujud penghambaan kepada Tuhan dan menjadi penguat untuk hidup saling berdampingan. Agama juga menjadi alat untuk menganalisa realitas sosial yang dinamis. Kondisi inilah yang mendorong perlunya membuat konstruksi baru dalam memaknai studi Islam kontemporer. Dimana studi Islam dapat dilakukan dengan nalar teologis dengan perspektif yang beragam, baik normatif, historis, filosofis dan rasionalis. Buku “Studi Islam Kontemporer” ini merupakan salah satu wujud untuk merespon kenyataan itu. Catatan-catatan dalam merespon fakta studi Islam ini berawal dari diskusi-diskusi ilmiah yang penulis lakukan untuk mendeskripsikan warna studi Islam dalam empat pola : Studi Peradaban Islam, Studi Filsafat, Studi Ruh Sumber Islam dan Studi Kawasan. Berikut akan dijelaskan secara singkat, padat dan jelas dari sepuluh bab dari buku tersebut.
Bab I. Pasang Surut Kebangkitan Kebudayaan dan Keilmuan : Potret Disintegrasi Abbasiyah.
            Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al - Shaffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Perjalanan dinasti Abbasiyah sejak berdiri hingga berakhir dengan adanya disintegrasi memang sudah tercatat sebagai sejarah Islam yang cukup fantastis. Terbukti bahwa pasang kebangkitan kebudayaan dan keilmuan terjadi pada dinasti ini diantaranya karena umat dalam keadaan yang tenteram dan ekonomi yang stabil maka kebudayaan berkembang luas di kalangan umat, kemudian muncul kegiatan menyusun buku-buku ilmiah serta mengatur ilmu–ilmu Islam. Tanda-tanda adanya disintegrasi adalah munculnya dinasti-dinasti kecil di barat maupun timur Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi, perebutan kekuasaan oleh dinasti Buwaihi dari Persia dan Saljuk dari Turki di Baghdad sehingga menjadikan fungsi khilafah bagaikan boneka, dan lahirnya perang salib antara pasukan Islam dengan pasukan Salib Eropa.
Bab II. Kajian Kritis Dialektika Fenomenologi dan Islam
            Fenomenologi adalah suatu hal yang tidak nyata yang berarti ungkapan kejadian yang dapat diamati dengan indera. Fenomenologi memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran. Karakteristik kajian fenomenologi dalam agama yaitu sebagai religiusitas (keberagamaan) yang bersifat universal, tidak terbatas, dan trans-historis. Dialektika kritis fenomenologi mengalami krisis ilmu sebagai permasalahan hubungan plantonis antara teori murni dengan praktis kehidupan, dan juga sebagai titik tolak permasalahan di Barat. Islam dari aspek fenomenologi menggunakan tata pikir logika lebih dari kausal linier dan bertujuan membangun ilmu idiografik.
Bab III. Filsafat Materialisme Karl Mark dan Friedrick Engels
Marx menganggap bahwa materi adalah hal yang utama, sementara pikiran-wilayah konsep dan ide yang begitu penting bagi para pemikir-sebenarnya hanya refleksi. Untuk filsafat Marx dan Engels yang sama-sama menggagas filsafat materialisme Dialektis (dengan metode dialektika) dan filsafat materialisme historis (memusatkan pemikiran pada sejarah) yang berkiblat pada Hegel secara kritis dengan melakukan rekonstruksi. Dapat pula diartikan bahwa materialisme adalah system pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan Yunani Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, system berpikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialisme dialektik. 
Bab IV. Skeptisisme Otentitas Hadits : Kritik Orientalis Ignaz Goldziher
            Goldziher adalah seorang orientalis ahli tafsir dan hadits yang berasal dari Hongaria berkebangsaan Jerman yang masih mengakui bahwa hadits sebagai sumber ajaran Islam. Dalam rangka membuat kritik hadits , Goldziher masih memilah antara hadits dan sunnah. Ia menyatakan bahwa hadits bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunnah adalah kopendium aturan-aturan praksis. Satu-satunya kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum Muslim pertama yang dipandang berwenang dan telah pula dipraktikkan dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan keagamaan.
Bab V. Telaah Sosio-Kultural : Manhaj Ahlul Madinah
            Madzhab-madzhab yang dikenal sebagai ahlul hadits adalah madzhab asy-Syafi’i madzhab Hambali, dan madzhab Maliki. Imam Syafi’i memperkenalkan suatu pola penalaran dan metode pengolahan hukum yang utuh dan sistematis yang kemudian dikenal sebagai ushul Fiqh. Sedangkan ijtihad yang dilakukan ahlul Ra’yi sangat berperan dalam penggalian dan penetapan hukum, baik terhadap hukum yang tersirat maupun yang tersembunyi yang diperkirakan hukumnya tidak ada . Pencipta hukum adalah Allah, sekalipun para mujtahid telah menghasilkan hukum, maka apa yang dihasilkannya itu pada dasarnya bukanlah hukum mujtahid. Para mujtahid hanya sekedar menggali, menemukan dan melahirkan hukum Allah yang tersembunyi hingga nyata. Para mujtahid hanya sekedar menyampaikan dan merumuskannya dalam bentuk formula hukum.            
Bab VI. Postmodernisme : Realitas Filsafat Kontemporer
            Postmodernisme dalam bidang filsafat bisa diartikan sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigm-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya. Diskursus postmodernisme yang memang tampil mencolok dalam arsitektur, sastra, seni lukis, dan filsafat kontemporer. Dimana postmodernisme identik dengan dua hal. Pertama, postmodernisme dinilai sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Sebab kata post atau pasca secara literal mengandung pengertian “sesudah”. Dengan begitu modernisasi dipandang telah mengalami proses akhir yang akan segera digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu post-modernisme. Kedua, post-modernisme dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern.
Bab VII. Potret Metode dan Corak Tafsir Al- Azhar
            Tafsir Al-Azhar adalah salah satu tafsir karya warga Indonesia yaitu Prof. Hamka yang dirujuk atau dianut dari Tafsir Al- Manar karya Muhammad Abdu dan Rasyid Ridla. Prof Hamka adalah seorang pemikir muslim progresif dan tokoh Muhammadiyah yang rela berkorban dalam memperjuangkan Islam hingga beliau dipenjara. Namun masuknya dia ke penjara bukan menjadi hambatan dalam berkarya, justru di dalam sel kala itu beliau menyelesaikan penulisan Tafsir Al-Azhar. Metode yang dipakai oleh Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar adalah metode analisis (tahlili) bergaya khas tertib mushaf. Metode analitis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut. Kemudian untuk corak tafsir Al-Azhar menggunakan corak kombinasi al-Adabi al-Ijtima’i-Sufi (sosial kemasyarakatan), yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.  
Bab VIII. Diskursus Metode Hermeneutika Al – Qur’an
            Hermeneutika digunakan sebagai jembatan untuk memahami Islam secara exhaustive (menyeluruh), baik dari persoalan historis-sosiologis dan semiotis-kebahasan. Hermeneutika adalah salah satu diantara teori dan metode menyingkap makna tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa tanggungjawab utama dan pertama dari hermeneutika adalah menampilkan makna yang ada dibalik simbol-simbol yang menjadi objeknya. Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Diskursus penafsiran al-Qur’an tradisional lebih banyak mengenal istilah al-tafsir, al-ta’wil, dan al-bayan. Istilah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang digunakan oleh beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran al-Qur’an dan diintroduksi secara definitif untuk menjelaskan metodologi penafsiran al-Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis.
Bab IX. Jawa dan Tradisi Islam Penafsiran Historiografi Jawa Mark R. Woodward
            Mark R. Woodward, seorang Profesor Islam dan Agama-agama Asia Tenggara di Arizona State University merupakan sosok yang sangat tegas menyatakan bahwa Islam Jawa adalah Islam, ia bukan Hindu atau Hindu-Budha, sebagaimana dituduhkan oleh Geertz dan sejarawan-antropolog lainnya. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa Islam Jawa adalah unik, bukan karena ia mempertahankan aspek-aspek budaya dan agama pra-Islam, tetapi karena konsep sufi mengenai kewalian, jalan mistik dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi suatu kultus keratin (imperial cult). Ciri Islam Jawa menurut Mark yaitu kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Budha yang paling maju (sophisticated). Sebagai contoh fenomena tradisi Jawa : karya sastra yang berpatronase dengan keraton seperti Serat Saloka Jiwa karya Ranggawarsita dan Serat Centhini karya Pakubuwono V dengan nilai-nilai sufisme, ritual Sekatenan dikorelasikan dengan rekonstruksi sejarah Islamisasi Jawa, ajaran-ajaran Islam dalam pewayangan, dan penekanan bentuk keberagaman yang mengedepankan kesalehan praksis pada masyarakat Jawa.
Bab X. Reinterpretasi Profil Peradaban Islam
            Peradaban Islam dari Damaskus, Kordova, dan Tunisia, selama beberapa abad lamanya mampu mengguratkan tinta emas kebesaran peradaban dan kebudayaan umat manusia yang begitu gemilang. Pelajaran bagi kita adalah Islam dalam berbagai perwujudannya selalu menampilkan mentalitas masyarakat pada zamannya. Apabila masyarakat Islam tidak dalam posisi marjinal dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan mampu menampilkan wajah Islam yang terbuka, progresif kosmopolit, dan berkarakter liberal. Dan apabila posisi masyarakat muslim terpuruk dan tertekan, maka yang menonjol justru karakter masyarakat Islam yang paranoid, eksklusif, reaktif, tertutup, anti dialog dan cenderung menggunakan bahasa kekerasan karena rasa putus asa yang mendalam. Maka dari itu, kini saatnya untuk menentukan dan mengonstruksi peradaban Islam mendatang. Kondisi mentalitas masyarakat muslim akan memberi andil sangat besar untuk melahirkan wajah Islam masa mendatang.
H.A.R Gibb dalam bukunya Whither Islam mengatakan: “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekadar sebuah agama ia adalah suatu peradaban yang sempurna). Untuk itu memandang Islam tidak bisa dari satu aspek normatif saja, namun harus dilihat dari dua aspek yakni aspek normatif dan historis.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar