REVIEW BUKU
Judul : Studi Islam Kontemporer Jumlah Halaman : xii, 228 Halaman
No. ISBN : 978-979-9430-84-7 Dimensi (L x P) : 14 x 21 cm
Penulis : M. Rikza Chamami, M.SI Jenis Kertas : HVS
Penerbit : Pustaka Rizki Putra Teks : Bahasa Indonesia
Cetakan Pertama : Desember 2012 Jenis Huruf : Times New Roman
No. ISBN : 978-979-9430-84-7 Dimensi (L x P) : 14 x 21 cm
Penulis : M. Rikza Chamami, M.SI Jenis Kertas : HVS
Penerbit : Pustaka Rizki Putra Teks : Bahasa Indonesia
Cetakan Pertama : Desember 2012 Jenis Huruf : Times New Roman
STUDI ISLAM KONTEMPORER
Khusnul
Kholifah*
*Reviewer
Studi Islam menjadi sangat penting baik di kalangan umat muslim maupun
non muslim. Sebuah fakta yang harus diakui bahwa nilai-nilai Islam pernah
mengukir sejarah peradaban dunia ini, diantaranya peradaban Islam dari
Damaskus, Kordoba, dan Tunisia, selama beberapa abad lamanya mampu mengguratkan
tinta emas kebesaran peradaban dan kebudayaan umat manusia yang begitu
gemilang. Apalagi Islam diturunkan tidak hanya untuk satu kaum atau satu
golongan saja, justru Islam diturunkan untuk seluruh alam ini.
Agama pada kenyataannya
menjadi wujud penghambaan kepada Tuhan dan menjadi penguat untuk hidup saling
berdampingan. Agama juga menjadi alat untuk menganalisa realitas sosial yang
dinamis. Kondisi inilah yang mendorong perlunya membuat konstruksi baru dalam
memaknai studi Islam kontemporer. Dimana studi Islam dapat dilakukan dengan
nalar teologis dengan perspektif yang beragam, baik normatif, historis, filosofis
dan rasionalis. Buku “Studi Islam Kontemporer” ini merupakan salah satu wujud
untuk merespon kenyataan itu. Catatan-catatan dalam merespon fakta studi Islam
ini berawal dari diskusi-diskusi ilmiah yang penulis lakukan untuk
mendeskripsikan warna studi Islam dalam empat pola : Studi Peradaban Islam,
Studi Filsafat, Studi Ruh Sumber Islam dan Studi Kawasan. Berikut akan
dijelaskan secara singkat, padat dan jelas dari sepuluh bab dari buku tersebut.
Bab I. Pasang Surut Kebangkitan Kebudayaan dan Keilmuan : Potret
Disintegrasi Abbasiyah.
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al - Shaffah
bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Perjalanan dinasti Abbasiyah sejak
berdiri hingga berakhir dengan adanya disintegrasi memang sudah tercatat
sebagai sejarah Islam yang cukup fantastis. Terbukti bahwa pasang kebangkitan
kebudayaan dan keilmuan terjadi pada dinasti ini diantaranya karena umat dalam
keadaan yang tenteram dan ekonomi yang stabil maka kebudayaan berkembang luas
di kalangan umat, kemudian muncul kegiatan menyusun buku-buku ilmiah serta mengatur ilmu–ilmu Islam. Tanda-tanda adanya disintegrasi
adalah munculnya dinasti-dinasti kecil di barat maupun
timur Baghdad yang berusaha melepaskan diri atau meminta otonomi, perebutan
kekuasaan oleh dinasti Buwaihi dari Persia dan Saljuk dari Turki di Baghdad
sehingga menjadikan fungsi khilafah bagaikan boneka, dan lahirnya perang salib
antara pasukan Islam dengan pasukan Salib Eropa.
Bab II. Kajian Kritis Dialektika Fenomenologi dan Islam
Fenomenologi adalah suatu hal yang tidak nyata yang
berarti ungkapan kejadian yang dapat diamati dengan indera. Fenomenologi
memperhatikan benda-benda yang kongkrit, bukan dalam arti yang ada dalam
kehidupan sehari-hari, akan tetapi dengan struktur yang pokok dari benda-benda
tersebut, sebagaimana yang kita rasakan dalam kesadaran. Karakteristik kajian
fenomenologi dalam agama yaitu sebagai religiusitas (keberagamaan) yang
bersifat universal, tidak terbatas, dan trans-historis. Dialektika kritis
fenomenologi mengalami krisis ilmu sebagai permasalahan hubungan plantonis
antara teori murni dengan praktis kehidupan, dan juga sebagai titik tolak
permasalahan di Barat. Islam dari aspek fenomenologi menggunakan tata pikir logika lebih dari
kausal linier dan bertujuan membangun ilmu idiografik.
Bab III. Filsafat Materialisme Karl Mark dan Friedrick Engels
Marx menganggap bahwa materi
adalah hal yang utama, sementara pikiran-wilayah konsep dan ide yang
begitu penting bagi para pemikir-sebenarnya hanya refleksi.
Untuk filsafat Marx dan Engels yang sama-sama menggagas filsafat materialisme
Dialektis (dengan metode dialektika) dan filsafat materialisme historis
(memusatkan pemikiran pada sejarah) yang berkiblat pada Hegel secara kritis
dengan melakukan rekonstruksi. Dapat pula diartikan bahwa materialisme adalah
system pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang
mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Berakar pada kebudayaan
Yunani Kuno, dan mendapat penerimaan yang meluas di abad 19, system berpikir
ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialisme dialektik.
Bab IV. Skeptisisme Otentitas Hadits : Kritik Orientalis Ignaz Goldziher
Goldziher adalah seorang orientalis ahli tafsir dan
hadits yang berasal dari Hongaria berkebangsaan Jerman yang masih mengakui
bahwa hadits sebagai sumber ajaran Islam. Dalam rangka membuat kritik hadits ,
Goldziher masih memilah antara hadits dan sunnah. Ia menyatakan bahwa hadits
bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunnah adalah kopendium aturan-aturan
praksis. Satu-satunya kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya
berakar turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul
dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum Muslim pertama yang
dipandang berwenang dan telah pula dipraktikkan dinamakan sunnah atau
adat/kebiasaan keagamaan.
Bab V. Telaah Sosio-Kultural : Manhaj Ahlul
Madinah
Madzhab-madzhab yang dikenal sebagai ahlul hadits adalah
madzhab asy-Syafi’i madzhab Hambali, dan madzhab Maliki. Imam Syafi’i
memperkenalkan suatu pola penalaran dan metode pengolahan hukum yang utuh dan
sistematis yang kemudian dikenal sebagai ushul Fiqh. Sedangkan ijtihad yang
dilakukan ahlul Ra’yi sangat berperan dalam penggalian dan penetapan hukum,
baik terhadap hukum yang tersirat maupun yang tersembunyi yang diperkirakan
hukumnya tidak ada . Pencipta hukum adalah Allah, sekalipun para mujtahid telah
menghasilkan hukum, maka apa yang dihasilkannya itu pada dasarnya bukanlah
hukum mujtahid. Para mujtahid hanya sekedar menggali, menemukan dan melahirkan
hukum Allah yang tersembunyi hingga nyata. Para mujtahid hanya sekedar
menyampaikan dan merumuskannya dalam bentuk formula hukum.
Bab VI. Postmodernisme : Realitas Filsafat Kontemporer
Postmodernisme dalam bidang filsafat bisa diartikan sebagai segala bentuk refleksi kritis atas paradigm-paradigma
modern dan atas metafisika pada umumnya. Diskursus postmodernisme yang memang
tampil mencolok dalam arsitektur, sastra, seni lukis, dan filsafat kontemporer.
Dimana postmodernisme identik dengan dua hal. Pertama, postmodernisme dinilai
sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Sebab kata post atau pasca secara
literal mengandung pengertian “sesudah”. Dengan begitu modernisasi dipandang
telah mengalami proses akhir yang akan segera digantikan dengan zaman
berikutnya, yaitu post-modernisme. Kedua, post-modernisme dipandang sebagai
gerakan intelektual yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran
sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern.
Bab VII. Potret Metode dan Corak Tafsir Al- Azhar
Tafsir Al-Azhar adalah salah satu tafsir karya warga
Indonesia yaitu Prof. Hamka yang dirujuk atau dianut dari Tafsir Al- Manar
karya Muhammad Abdu dan Rasyid Ridla. Prof Hamka adalah seorang pemikir muslim
progresif dan tokoh Muhammadiyah yang rela berkorban dalam memperjuangkan Islam
hingga beliau dipenjara. Namun masuknya dia ke penjara bukan menjadi hambatan
dalam berkarya, justru di dalam sel kala itu beliau menyelesaikan penulisan
Tafsir Al-Azhar. Metode yang dipakai oleh Prof. Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
adalah metode analisis (tahlili) bergaya khas tertib mushaf. Metode analitis
ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung dalam ayat tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan
ayat tersebut. Kemudian untuk corak tafsir Al-Azhar menggunakan corak kombinasi
al-Adabi al-Ijtima’i-Sufi (sosial kemasyarakatan), yaitu corak tafsir yang berusaha
memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan
ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan
menarik, kemudian menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan
kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Bab VIII. Diskursus Metode Hermeneutika Al – Qur’an
Hermeneutika digunakan sebagai jembatan untuk memahami
Islam secara exhaustive (menyeluruh), baik dari persoalan historis-sosiologis
dan semiotis-kebahasan. Hermeneutika adalah salah satu diantara teori dan
metode menyingkap makna tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa tanggungjawab
utama dan pertama dari hermeneutika adalah menampilkan makna yang ada dibalik
simbol-simbol yang menjadi objeknya. Hermeneutika al-Qur’an merupakan istilah
yang masih asing dalam wacana pemikiran Islam. Diskursus penafsiran al-Qur’an
tradisional lebih banyak mengenal istilah al-tafsir, al-ta’wil, dan al-bayan.
Istilah hermeneutika merupakan kosakata filsafat Barat yang digunakan oleh
beberapa pemikir Muslim kontemporer dalam merumuskan metodologi baru penafsiran
al-Qur’an dan diintroduksi secara definitif untuk menjelaskan metodologi
penafsiran al-Qur’an yang lebih kontemporer dan sistematis.
Bab IX. Jawa dan Tradisi Islam Penafsiran Historiografi Jawa Mark R.
Woodward
Mark R. Woodward, seorang Profesor Islam dan Agama-agama
Asia Tenggara di Arizona State University merupakan sosok yang sangat tegas
menyatakan bahwa Islam Jawa adalah Islam, ia bukan Hindu atau Hindu-Budha,
sebagaimana dituduhkan oleh Geertz dan sejarawan-antropolog lainnya. Selain
itu, ia juga mengemukakan bahwa Islam Jawa adalah unik, bukan karena ia
mempertahankan aspek-aspek budaya dan agama pra-Islam, tetapi karena konsep
sufi mengenai kewalian, jalan mistik dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam
formulasi suatu kultus keratin (imperial
cult). Ciri Islam Jawa menurut Mark
yaitu kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Budha yang
paling maju (sophisticated). Sebagai contoh fenomena tradisi Jawa : karya
sastra yang berpatronase dengan keraton seperti Serat Saloka Jiwa karya Ranggawarsita dan Serat Centhini karya Pakubuwono V dengan nilai-nilai sufisme,
ritual Sekatenan dikorelasikan dengan rekonstruksi sejarah Islamisasi Jawa,
ajaran-ajaran Islam dalam pewayangan, dan penekanan bentuk keberagaman yang
mengedepankan kesalehan praksis pada masyarakat Jawa.
Bab X. Reinterpretasi Profil Peradaban Islam
Peradaban Islam dari Damaskus, Kordova, dan Tunisia, selama
beberapa abad lamanya mampu mengguratkan tinta emas kebesaran
peradaban dan kebudayaan umat manusia yang begitu gemilang. Pelajaran bagi kita
adalah Islam dalam berbagai perwujudannya selalu menampilkan mentalitas
masyarakat pada zamannya. Apabila masyarakat Islam tidak dalam posisi marjinal
dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, maka mereka akan
mampu menampilkan wajah Islam yang terbuka, progresif kosmopolit, dan
berkarakter liberal. Dan apabila posisi masyarakat muslim terpuruk dan
tertekan, maka yang menonjol justru karakter masyarakat Islam yang paranoid,
eksklusif, reaktif, tertutup, anti dialog dan cenderung menggunakan bahasa
kekerasan karena rasa putus asa yang mendalam. Maka dari itu, kini saatnya
untuk menentukan dan mengonstruksi peradaban Islam mendatang. Kondisi
mentalitas masyarakat muslim akan memberi andil sangat besar untuk melahirkan
wajah Islam masa mendatang.
H.A.R Gibb dalam bukunya Whither
Islam mengatakan: “Islam is indeed
much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam
sesungguhnya lebih dari sekadar sebuah agama ia adalah suatu peradaban yang
sempurna). Untuk itu memandang Islam tidak bisa dari satu aspek normatif saja,
namun harus dilihat dari dua aspek yakni aspek normatif dan historis.
0 komentar:
Posting Komentar