Tema: Korelasi antara Pendidikan
Agama dengan Pendidikan Karakter
Harapan Mencetak
Generasi “Sempurna”
Oleh: Khusnul Kholifah
Banyak
yang menyebutkan pendidikan di Indonesia telah gagal, karena banyak lulusan
sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas,
tetapi mental dan moralnya lemah. Proses pendidikan dirasakan belum berhasil
membangun manusia Indonesia yang berkarakter.
Seorang dosen Fakultas Kedokteran
di salah satu perguruan tinggi di Indonesia pernah menyampaikan keprihatinan
kepada Dr. Ardian Husaini, seorang peneliti dari Universitas Ibn Kaldun Bogor .
Berdasarkan survei, separuh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk
fakultas kedokteran untuk mengejar materi.
Menjadi dokter adalah baik.
Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Akan
tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat
biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia
lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi
karena berburu uang.
Dalam bukunya yang berjudul,
Pribadi, Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai
tetapi tidak memiliki pribadi yang unggul. Banyak guru, dokter, hakim, insinyur,
banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam
masyarakat menjadi “mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya
mementingkan dirinya, diploma hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti
batu, tidak mempunyai cita-cita lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya
tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya
yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya, bukan menimbulkan
keberaniannya memasuki lapangan hidup.
Budayawan Mochtar Lubis mendeskripsikan
salah satu dari ciri-ciri utama manusia Indonesia, yaitu manusia Indonesia
memiliki watak lemah dan karakter kurang kuat. Dia kurang kuat mempertahankan
keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive”
bersedia mengubah keyakinannya. Oleh sebab itu, kita dapat melihat gejala
pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.
Ajarkan Multikultural
Maraknya orang tua yang menyekolahkan
anak-anaknya ke sekolah Islam atau pondok pesantren merupakan fenomena positif.
Dr. Nugroho, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang memandang bagus
fenomena ini. Ia melihat dua penyebab kecenderungan itu muncul. Pertama,
secara internal orang tua menyadari anak tidak hanya cukup berbekal kemampuan
intelektual saja, juga harus punya bekal spiritual. Kedua, secara
eksternal, kehidupan sekarang ini sangat keras, dengan persaingan yang sangat
ketat, gaya hidup hedonis, konsumtif, dan sebagainya. Jika tidak punya bekal
khusus untuk menghadapi kerasnya kehidupan, maka seseorang bisa stres, depresi,
bahkan sampai bunuh diri. Dengan demikian, orang tua berharap anak bisa tahan
terhadap godaan zaman.
Pengajaran tentang pentingnya
sikap toleran kepada sesama umat, dan kehidupan multikultural harus tetap
diberikan. Anak-anak harus diberi pengertian bahwa hidup ini bukan hanya kaum
muslim, dan bahwa kebenaran dan kejujuran, bukan hanya milik kaum muslim saja.
Mereka harus bisa menerima kehidupan multikultural.
Pendidikan agama dan kesadaran
akan nilai-nilai religius serta pluralitas menjadi motivator utama keberhasilan
pendidikan karakter. Dalam pandangan Islam, nilai-nilai Islam diyakini sebagai
pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat
majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad SAW, berdasarkan kepada
nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi muslim maupun bagi masyarakat plural.
Nilai kejujuran, kerja keras,
sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan
terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal
yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan
karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah
proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan
karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik, berlaku jujur,
ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiarkan
lingkungannya kotor.
Berkarakter dan Beradab
Jika bangsa Cina maju sebagai
hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya komunis yang berkarakter dengan
muslim yang berkarakter? Komunis atau
atheis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani,
bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Muslim juga bisa
seperti itu. Di mana letak bedanya?
Bedanya pada konsep adab. Yang
diperlukan oleh kaum muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang
berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.
Prof. Syed Muhammad Naquib al
Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu memaparkan bahwa adab adalah
“Pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang,
dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu
hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu, pengakuan
adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal, dan
pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.
Karena itulah, sudah sepatutnya
dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan
yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Dengan adab
inilah, muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya. Kapan dia harus
jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia belajar dan bekerja keras. Dalam
pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis
duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab.
“Orang baik” atau Good Man,
tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang
memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia ikhlas dalam
mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar
aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun
karakter dan adab sekaligus.
Kalau para tokoh agama, dosen,
guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak
sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, pendidikan karakter yang
diprogramkan Kementrian Pendidikan hanya akan berujung slogan.
Nilai-nilai Islam harus merembes
dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai hanya berhenti sampai pada tataran
kognisi namun tidak diinternalisasi dalam sikap dan perbuatan. Jadi, setiap
muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan
dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia
berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua
Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dari itu, pada akhirnya dapat
mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertaqwa, profesional, dan
berkarakter, sehingga tercipta generasi yang benar-benar “Sempurna”.
0 komentar:
Posting Komentar