KARAKTER
STUDI ISLAM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam (PGMI-2B)
Dosen Pengampu: M. Rikza, M.SI.
Disusun
oleh:
Khusnul Kholifah (103611007)
Dwi Mahmudah (123911043)
Iffa Qorri Aina (123911052)
Kholifah Istiqomah (123911056)
Mughfiroh (123911069)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aktivitas
pendidikan Islam telah dimulai sejak adanya manusia (Nabi Adam dan Hawa) di
dunia ini. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad
SAW adalah iqra’, yang merupakan kunci dari aktivitas pendidikan,
Muhaimin (2011).
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang
bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (Education for All), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung
sepanjang hayat (Long Life Education).[1]
Karakteristik
pendidikan Islam berpengertian sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan
pendidikan Islam dengan sistem pendidikan lainnya. Identitas yang membuat
sistem pendidikan tersebut dapat membangun manusia seutuhnya, seimbang antara
jasmani dan rohani, siap untuk menjadi manusia unggul dalam menghadapi
kehidupan dunia dan akhirat. Ciri yang membuat manusia semakin dekat dengan
penciptanya.
Selama ini kita sudah mengenal Islam khususnya pada lingkup pendidikan.
Akan tetapi, Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, nampaknya
masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut.[2]
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, ada beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
karakteristik studi Islam perspektif Al-Quran?
2. Bagaimanakah
karakteristik studi Islam perspektif Hadits?
3. Bagaimanakah
karakteristik studi Islam perspektif Hukum Islam?
4. Bagaimanakah
karakteristik studi Islam perspektif Sejarah Islam?
II.
PEMBAHASAN
1.
Studi
Al-Quran
Di kalangan
ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Al
Qur’an dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk
memahami Al Qur’an dan Al-Sunnah.
Di kalangan para
ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Al Qur’an baik
dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al
Qur’an bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan
memakai kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah
(firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra
berpendapat bahwa lafal Al Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari
kata qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan
kandungannya ayat-ayat Al Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan.
Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Al Qur’an
diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang
lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Al Qur’an satu dan lainnya saling
bergabung dan berkaitan.
Manna’ al-Qathhthan,
secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Al
Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan
dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan
yang diberikan Al-Zarqani.
a. Pengertian
Ulumul Qur’an
Secara Etomologi
Ulum Al Qur’an terdiri dari dua kata yaitu Ulum
dan Al Qur’an. Ulum adalah jamak
dari al-‘ilm yang berarti ilmu, maka ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al Qur’an secara harfiyah berasal dari
kata qara’a yang berarti membaca atau
mngumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama, membaca berarti juga
mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide autau
gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Maka perintah membaca dalam Al
Qur’an, seperti yang terdapat diawal surat Al ‘Alaq, bermakna bahwa Allah
menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dialam raya
atau dimana ssaja, dengan tujuan agar si pembaca melalui gagasan, bukti atau
ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa
segala yang ada ini diatur oleh Allah.[3]
Berdasarkan
penelitian sebagian ahli ilmu, yang dapat kita katakan Ulumul Qur’an ialah
ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan Al Qur’an dari segi hidayah atau segi
i’jaz.[4]
Jadi, Ulumul
Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang berkaitan dengan turun, bacaan,
kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash Shabuni mendefinisikan Ulumul Qur’an
itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al Qur’an dari aspek turun,
pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab
an nuzul, al makki wa al madani, pengetahuan mengenai an nasikh dan al mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain
sebagainya, segala pembahasan yang berkaitan dengan Al Qur’an”.[5] Menurut
Az Zarqoni Ulumul Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al
Qur’an, dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir,
mukjizat, nashikh dan mansukh, menolak subhat darinya, dan
lain-lain”.[6]
Jadi, apa saja ilmu yang berkaitan dengan Al Qur’an adalah termasuk dalam
perbincangan Ulumul Qur’an.[7]
b. Ruang
Lingkup Kajian Ulumul Qur’an
Definisi di atas
menggambarkan bahwa Ulumul Qur’an mencakup bahasa yang sangat luas, antara lain
nuzul Al Qur’an, asbab al nuzul, ilmu
an nasikh wa al mansukh dan ilmunya fawatikh as-suwar serta masih banyak
yang lainnya. Karena begitu luasnya cakupan kajian Ulumul Qur’an, maka para
ulama harus mengakhiri definisi yang mereka buat dengan ungkapan “dan lain-lain”.
Ungkapan ini menunjukan, kajian Ulumul Qur’an tidak hanya hal-hal yang
disebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara keseluruhan
tidak mungkin disebutkan dalam definisi. Ibnu Arabi (w 554 H), seperti yang
dikutip oleh Az Zarkasyi, menyebutkan, Ulumul Qur’an mencakup 77.450 ilmu
sesuai dengan bilangan kata-katanya.[8]
Hal itu sesuai dengan pendapat sebagian kaum salaf, yang melihat bahwa setiap
kata dalam Al Qur’an mempunyai makna lahir dan batin, selain itu terdapat pula
hubungan-hubungan dan susunannya. Maka dengan demikian, ilmu ini tidak terkira
banyaknya dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya secara pasti.
Dari sekian
banyak cakupan Ulumul Qur’an, maka yang menjadi induk atua fokus utamanya
adalah tauhid, tadzkir (peringatan),
dan hukum. Tauhid mencakup banyak hal, antara lain pengetahuan tentang yang
termasuk dalam tadzkir adalah al-wa’d (janji balasan kebajikan), al-wa’id (janji ancaman), surga dan
neraka serta penyucian lahir dan batin. Sedangkan hukum mencakup beban (takalif) berupa perintah, larangan, hal
yang bermanfaat, dan hal-hal yang dapat mendapat mendatangkan kemudaratan.
Secara garis
besar Ulumul Qur’an itu dapat dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu
yang diistinbathkan dari Al Qur’an, yang kemudian dapat dipedomani oleh manusia
dalam menjalani kehidupan ini. Termasuk dalam kategori ini, misalnya ilmu fiqh,
ushul, tafsir, balaghah, kaidah-kaidah bahasa, aqidah, akhlak, dan sejarah. Dan
yang kedua, ilmu-ilmu yang menjadi syarat atau alat untuk memahami Al Qur’an.
Yang dimaksud dengan istilah Ulumul Qur’an dalam kajian ini adalah yang
terakhir ini. Hal tersebut mencakup antara lain sebagai berikut.
1. Ilmu
nuzul Al Qur’an. Kajian ini mencakup
penyampaian Al Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad, Al makki wa al madani, ayat paling awal dan paling akhir
diturunkan, ayat yang turun di malam hari (al
lailiyah), yang turun di waktu siang (al
mahariyah), ayat yang turun dalam perjalanan, ayat yang turun ketika Nabi
SAW berada di tempat tingalnya, ayat yang turun ketika Nabi berada dalam
perjalalanan dan ayat yang berulang kali turunnya.
2. Ilmu
qiro’ah. Hal ini mencakup cara
memulai bacaan; membaca wakaf, mad, idghom, dan lain sebagainya. Termasuk juga
dalam kajian ini perbedaan para ulama dalam membacanya; ada bacaan yang mutawatir, ahad, masyhur, dan syazz.
3. Kajian
tentang makna Al Qur’an yang berhubungan dengan hukum, seperti lafal ‘am yang tetap dalam keumumannya, ‘am yang telah ditakhsikan, manthuq, mafhum, muthlaq, mukayyad, dan
lain sebagainya.
4. Kajian
tentang makna Al Qur’an yang berkaitan dengan lafal, seperti ‘ijaz, ithnab, musawa, qashor, dan
lain-lain.
Dengan demikian, maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa Ulumul Qur’an itu mencakup ilmu-ilmu bahasa Arab dan segala kajian yang
berkaitan dengan ajaran Islam. Bahkan As Sayuthi berpendapat, bahwa ilmu jiwa,
ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain sebagainya juga termasuk Ulumul Qur’an.
Hal itu didasarkan kepada firman Allah.
QS. An Nahl: 89,
tPöqtur ß]yèö7tR Îû Èe@ä. 7p¨Bé& #´Îgx© OÎgøn=tæ ô`ÏiB öNÍkŦàÿRr& ( $uZø¤Å_ur Î/ #´Íky 4n?tã ÏäIwàs¯»yd 4 $uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
“(dan
ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas
mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi
atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri.”
2.
Studi
Hadits
Kedudukan
Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para
sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti
Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut
bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut
ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan
dengan makna Hadits Nabi yang artinya: ”Barang siapa yang membuat sunnah
(kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala
bagi orang yang mengerjakannya; dan barang siapa yang membuat sunnah yang
buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang
yang mengerjakannya”.
Sementara
itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli Hadits mengartikan
Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa
Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan,
perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai
sumber ajaran Islam kedua, setelah Al Qur’an, Al-Sunnah memiliki fungsi yang
pada intinya sejalan dengan Al Qur’an. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat
dilepaskan dari adanya sebagian ayat Al Qur’an :
1. Yang
bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2. Yang
bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3. Yang
bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula isyarat
Al Qur’an yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari
dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai
keterangannya di dalam Al Qur’an yang selanjutnya diserahkan kepada Hadits
nabi.
Berikut ini ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan Hadits;
1) Ilmu
Rijal al-Hadits
Ilmu ini sangat
penting kedudukanya dalam lapangan ilmu Hadits. Hal ini karena, sebagaimana
diketahui bahwa obyek kajian Hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan
sanad. Ilmu Rijal ini lahir bersama-sama dengan periwayatan Hadits dalam Islam
dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan disekitar
sanad.
Di antara kitap
yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat adalah
karya Muhammad ibn Sa’ad (w 9.230 H) yaitu Thabaqat Al-Kubra dan karya Khalifah
ibn Ashfari (w 240 H) yaitu Thaqabat Al-Ruwwah, dan lain-lain.
2)
Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh,
yang secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”, adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitanya.
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua
jalan, yaitu:
a. popularitas
para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai seorang yang
adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli
ilmu tentang keadilanya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan
keadilanya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau
dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. berdasarkan
pujian atau pen-tajrih-an dari rawi yang lain yang adil. Bila seorang rawi yang
adil menta’dilkan seorang rawi lain yang belum terkenal keadilanya, maka telah
dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatanya
bisa diterima.
3) Ilmu
Tarikh ar-Ruwah
Ilmu tarikh
ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits yang berkaitan dengan
usaha periwayatan mereka terhadap Hadits. Dengan ilmu ini akan diketahui
keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya,
siapa orang yang meriwayatkan Hadits
darinya, dan lain-lain.
Sebagian dari
ilmu Rijal Hadits, ilmu ini mengkususkan pembahasanya secara mendalam pada
sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Jadi ilmu
tarikh ar-ruwah ini merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi
yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.
4) Ilmu
ilal al-Hadits
Kata ‘ilal
adalah bentuk jama’ dari kata “al-‘illah”, yang menurut bahasa berarti
‘al-maradh’ (penyakit atau sakit). Menurut muhaddisin, istilah ‘illah berarti
sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya Hadits. Akan
tetapi yang kelihatan adalah kebalikannya yakni tidak terlihat adanya
kecacatan.
Menurut
Al-Hakim, ilmu ‘illah Hadits ialah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu
shahih dan dha’if, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan ‘illat Hadits yang tidak
termasuk kedalam pembahasan jarh, sebab Hadits yang majruh adalah Hadits yang
gugur dan tidak dipakai. ‘illat Hadits banyak terdapat pada Hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan sesuatu Hadits yang padahal mempunyai
‘illat, akan tetapi ‘illat itu tersembunyi. Karena ‘illat tersebut maka Haditsnya
disebut Hadits ma’lul. Karena ‘illat
tersebut menyebutkan, bahwa dasar penetapan ‘illat Hadits, adalah hafalan yang
sempurna, pemahaman yang mendalam dan pengetahuan yang cukup.
5) Ilmu
an-Nasikh wa al-Masukh
Yang dimaksud
dengan ilmu al-nasikh wa al-masukh disini, adalah terbatas disekitar nasikh dan
mansukh pada Hadits. Kata al-naskh menurut bahasa mempunyai dua pengertian,
al-izalah (menghilangkan) seperti nashakhati al-syamsu al-zhilla (matahari
menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin) seperti nasakhtu al-kitab (aku menyalin kitab) yang
berarti saya salin isi suatu kitab untuk dipindahkan ke kitab lain.
Mengetahui ilmu
ini sangat penting dalam ilmu Hadits ini. Bahkan menurut Al-Zuhri, ilmu inilah
yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha. Hal ini karena tigkat
kesulitanya yang tinggi, terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nas
yang samar-samar. Untuk mengetahui
nasakh dan mansukh ini bisa melakukan beberapa cara, seperti:
a. dengan
penjelasan dari nash syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul SAW.
b. dengan
penjelasan dari para sahabat.
c. dengan
mengetahui tarikh keluarnya Hadits serta sebab wurud Hadits. Dengan demikian
akan diketahui mana yang datang lebih dulu mana yang datang kemudian.
6) Ilmu
Asbab Wurud al-Hadits
Kata asbab
adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa
diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran, yang artinya dijelaskan
sebagai: “segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainya”.
7) Ilmu
Garib al-Hadits
Menurut Ibnu
Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah ungkapan dari
lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan Hadits
karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.
Memahami makna
kosa kata (mufradat) matan Hadits merupakan langkah pertama dalam memahami
suatu Hadits dan untuk istinbath hukum. Oleh karena itu ilmu ini akan banyak
menolong untuk menuju ke pemahaman tersebut. Ada beberapa cara untuk
menafsirkan Hadits-Hadits yang mengandung lafazh yang gharib ini, di antaranya:
a. dengan
Hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh gharib
tersebut.
b. dengan
penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan Hadits atau sahabat lain yang
tidak meriwayatkanya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
c. penjelasan
dari rawi selain sahabat.
8) Ilmu
at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashif
wa at-tahrij, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang Hadits-Hadits
yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Al-Hafidz ibn
Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian yaitu ilmu al-tashif dan ilmu
al-tahrif. Sedangkan ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua ilmu
ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin ilmu yang
bernilai tinggi, yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffazh).
Hal ini disebabkan, karena dalam hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan
bacaan dan pendengaran yang diterimanya dari orang lain.
Suatu contoh,
dalam suatu riwayat yang disebutkan bahwa salah seorang yang meriwayatkan Hadits
dari Nabi SAW, dari bani Sulaimah adalah “Utbah ibn Al-Bazir, padahal yang
sebenarnya adalah “Utbah bin Al-Nazhr”. Dalam Hadits ini terjadi perubahan
sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.
3.
Studi
Hukum Islam
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam
internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas
muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum
Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.
Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum
muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya,
dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim
hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat
dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk
menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan
“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang
diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telah
penting di masa datang.
Era tahun 1930-an sampai sekarang ini merupakan masa kebangkitan kembali
intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari
kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam
mengembangkan pemikirannya tentang perkembangan hukum Islam masa kini atau kontemporer.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Supaya
hukum Islam berkembang menjadi lebih baik.
a.
Hukum Islam dalam sebuah
negara bangsa
Setiap sistem hukum menyatakan bahwa orang-orang yang terikat dengan hukum
tersebut harus bersedia mengakui otoritasnya. Selain itu mereka juga mengakui
bahwa hukum tersebut mengikat mereka, begitu juga dengan hukum Islam juga
dengan hukum dalam suatu negara bangsa. Secara umum ada dua pandangan dalam
penerapan hukum Islam dibawah ketentuan negara-bangsa (nation-state).
Pandangan pertama ialah mengedepankan cara akomodatif, yaitu bangunan hukum
Islam diubah sesuai dengan paradigma modern. Artinya hukum Islam yang semula
lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional yang bersifat kelompok,
sehingga anggota komunitasnya diikat berdasarkan identitas, etnis, agama,
keluarga atau yang lain sebagainya.
Keseluruhan paradigma hukum Islam tradisonal tersebut diubah dengan sisitem
keseluruhan yaitu sistem yang mana masyarakat berada dalam sebuah sistem yang
konstitusional negara-bangsa bahkan tatanan hukum internasional.[9]
Oleh karena itu, keputusan dan praktik hukum Islam harus didasarkan pada
alasan-alasan rasional. Jadi, seluruh warisan hukum Islam adalah baku, begitu
juga dengan hukum-hukum pada awalnya seperti hukum adat dan lain sebagainya
dalam hukum nasional.
Lalu paradigma kedua adalah dengan mempetahankan paradigma hukum Islam
semula mendesaknya masuk dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis
maupun praktis. Idelogis dalam arti
menggantikan sistem negara bangsa. Kewarganegaraannya berdasarkan keseragaman
agama, yaitu Islam sebagai sistem yang formal. Jadi hukum modern hanya bertugas
menerapkan hukum yang sudah jadi tersebut.
b.
Hukum Islam, hukum barat,
dan hukum adat
Agama Islam pada awal mulanya dipeluk oleh kaum masyarakat yang memiliki
tradisi sosial dan hukum sendiri-sendiri. Dan masing-masing mempunyai tradisi
sendiri-sendiri yang diwariskan dari para pendahulunya dalam rentang jangka
waktu yang lama. Karena menerima Islam
sebagai agama mereka maka secara otomatis secara prinsip juga mengakui otoritas
hukum Islam.[10]
Walaupun secara teoritik, hukum mencakup setiap cabang dan hubungan sosial,
namun dalam praktiknya banyak sekali aspek kehidupan yang kehidupan yang masih
terabaikan. Hukum Islam pada masa modern kurang berpengaruh dibandingkan hukum
eropa/barat. Kelompok-kelompok modernis seringkali mengambil sikap barat dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan hukum Islam. Namun hingga saat ini mungkin
hanya Arab Saudi dan sampai batas tertentu Afghanistan yang tetap melestarikan
hukum Islam yang lama. Namun, terdapat satu bidang yang tetap mempertahankan
tatanan hukum Islam, yaitu bidang yang berhubungan dengan hubungan perorangan (ahwal
al-syakhsyiyyah) seperti perakwinan, waris, perceraian dan lain sebagainya.
Permasalahan muncul di negara-negara lain ketika timbul adanya dua macam
hukum yang sama-sama berlaku dan
berinteraksi, yaitu hukum barat dan hukum Islam. Hukum barat telah
berhasil dicernakan di berbagai daerah Islam. Jika pada mulanya mereka tidak
terusik dan terganggu namun lama-kelamaan pada masa berikutnya terjadi
kesesuaian dengan temperamen penduduk muslim. Penentangan terhadap barat
disuarakan oleh ahli hukum Islam.[11]
c.
Ijtihad kolektif tren dalam
hukum Islam modern
Modernisasi atau juga bisa disebut zaman sekarang yang dimulai dari proyek
industrialisasi telah membawa dampak yang luar biasa pada peradaban manusia.
Komplektisitas masalah modern sulit dijawab oleh seorang pakar hukum Islam
tetapi perlu bantuan pakar yang lain. Dengan kolektivitas ulama kultus individu
tidak dapat dihindari karena masing-masing ulama mempunyai kekurangan dan
kelebihan yang saling melengkapi. Kesepakatan bersama inilah yang kemudian hari
disebut sebagai ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) yang mana ijtihad ini dalam
lembaga ulama bisa mempersempit dan memperkecil perbedaan pendapat.
Untuk menjadi peserta ijtihad jam'i, seseorang memiliki kemampuan tentang
studi hukum Islam. Orang dapat dianggap sebagai pakar hukum Islam bila
menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, Al-Ghazali dalam kutipan al-Suyuti
berikata, “jika seorang pakar fiqh tidak berkomentar atas masalah yang belum
pernah didengarnya seperti komentarnya atas masalah yang didengarnya, maka ia
bukan pakar fiqh”.[12]
Karena tidak semua umat Islam yang memiliki kompetensi tersebut serta tuntutan
zaman memerlukan kehadiran mujtahid, maka hukum ijtihad adlah Fardlu Kifayah,[13]
yakni umat terbebas dari tanggungan dosa bila telah orang yang melakukan
ijtihad.
Masyarakat modern yang menjunjung tinggi demokratisasi lebih percaya pada
keputusan kolektif. Fatwa hukum Islam dari lembaga keagamaan juga lebih
dipercaya dibanding fatwa individu. Tidak hanya itu, keputusan hukum yang
melibatkan dan mendengarkan pendapat banyak masyarakat dinilai lebih obyektif.
Dengan demikian, pengambilan keputusan hukum Islam secara kolektif dengan
mempertimbangkan keadaan masyarakat relevan dengan pemikiran masyarakat modern.[14]
d.
Hukum Islam di Indonesia
saat ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan
dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu
batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami
alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar
di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh
kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di
Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak
komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat
dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk
menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan
“mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang
diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan
kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil
oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telah
penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi
sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai sekaligus ataupun seketika
akan tetapi melalui perjalanan yang panjang.
Proses tersebut dilalui sejak ketika jaman kerajaan hingga pada masa
sekarang yakni masa eranya demokrasi yang dari barat mulai memasuki negara
indonesia. Ketika jatuhnya Soeharto maka genderang kebebasan dan berdemokrasi
kembali ditabuhkan. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini
setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti.
Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan
undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang
menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus
dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan
berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita
dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru
yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan
sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[15]
Langkah-langkah pembaharuan itu seperti pada kodifikasi hukum fiqh.
Kodifikasi (taqnin) adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu
bab dalam bentuk butiran bernomor.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai
berikut: Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang
memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing
memberikan keputusan sendiri, tetapi mereka seharusnya sepakat dengan materi
undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan
yang kontradiktif. Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua
hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga
mudah untuk dibaca.[16]
4.
Studi
Sejarah Islam
a) Latar
Belakang dan Asal Usul Bangsa Arab
Menurut rumpun bangsa, bangsa Arab
merupakan bangsa semit (Samiyah) keturunan Syam bin Nuh yang dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu Arab Baidah dan Arab Baqiyah. Arab Baqiyah terbagi atas Arab Aribah dan Arab Musta’ribah (Muta’arribah).
1. Arab Ba’diyah,
yaitu kaum arab terdahulu atau bangsa Arab kuno yang sudah punah jauh sebelum Islam
lahir yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplik. Riwayat
mereka tidak banyak diketahui selain yang termaktub dalam kitab-kitab suci
agama samawi dan terungkap dalam syair-syair klasik, antara lain kaum Ad, kaum
Tsamud, Amaliqah, Yudisa, dan Amien. Mereka inilah yang termasuk rumpun bangsa
semit.
2. Arab Aribah, yaitu
kaum Arab yang berasal dari keturunan ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan. Arab
Aribah merupakan persebaran dari nenek moyang Yamaniyah (yaman) atau yang
disebut juga Arab Qahthaniyah. Yang
termasuk diantaranya adalah suku Jurhum, Kahlan dan Himyar. Asal usul kelahiran
Arab Aribah atau Qahthaniyah adalah Yaman yang kemudian berkembang menjadi
beberapa kabilah dan suku, di antara yang terkenal adalah kabilah Himyar
(terdiri dari suku Zaid Al-Jumhur, Qadha’ah dan Sakasik) dan kabilah kahlan
(terdiri dari suku Hamdan, Anwar, Wathi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Uzd,
Aus, Khazraj dan anak keturunan Jafnah raja Syam).
3. Arab Musta’ribah,
yaitu merupakan bangsa Ismailiyah atau keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu
keturunan Ibrahim yang lahir dan besar di makkah. Cikal bakal Arab Musta’ribah
adalah ibrahim AS. Mereka juga disebut juga al-Arab
al-Adnaniyah karena salah satu keturunan Nabi Ismail bernama Adnan.
Keturunan Adnan ini yang melahirkan suku Quraisy.
b) Zaman
Nabi Muhammad SAW (Sejarah Nabi Muhammad SAW)
Muhammad lahir
di Makkah, senin 17 Rabi’ul Awal/ 20 April tahun 571 M (Tahun Gajah), termasuk Bani Hasyim, kabilah suku Quraisy. Ayahnya
Abdullah bin Abdul Muthalib, ibunya Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Beliau
diasuh Aminah, ibu kandungnya. Kemudian Tsuaibah Al-Aslamiyah, Khaulah binti
Almundzir, Halimah Assa’diyah, dan Ummu Aiman. Usia 6 tahun diasuh kakeknya,
Abdul Muthalib. Selanjutnya pamannya, Abu Thalib. Ketika 12 tahun pergi ke Syam
dengan pamannya, bertemu pendeta Bahira yang melihat tanda-tanda kenabian.
Muhammad dijuluki al-amin yang
artinya dapat dipercaya. Menikah dengan Khadijah, dikaruniai enam orang anak:
Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.
Ciri khas
kehidupan Nabi Muhammad pada periode Madinah adalah turunnya Al-Quran dengan
surat-surat yang panjang, luas cakupannya, mengandung hukum-hukum agama seperti
shalat, zakat puasa, pernikahan, perceraian, perlakuan terhadap budak, tahanan
perang dan musuh. Meskipun Muhammad menjadi Rasul, sebagai pemimpin agama dan
negara, tetapi kehidupannya masih sangat sederhana. Rumahnya sangat sederhana
dan perilakunya telah mampu membentuk tatanan norma yang diikuti oleh jutaan
orang dari komunitas di Madinah inilah kemudian lahir sebuah negara Islam yang
lebih besar. Dari perjalanan sejarah nabi, dapat disimpulkan bahwa Nabi
Muhammad mempunyai peran ganda yaitu selain sebagai pemimpin agama juga sebagai
pemimpin negara. Hanya sebelas tahun beliau menjadi pemimpin politik. Beliau
berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab kedalam kekuasaannya.
Setelah Nabi
wafat, Empat khalifah awal disebut Khulafa’u
al-rasyidin (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Mereka berempat
adalahpara sahabat dekat dan kerabat Rasul. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar menempati urutan
pertama. Ciri khas khulafa’u al-rasyidin
adalah teladan kehidupan Nabi masih berpengaruh besar pada sikap dan perilaku
pemimpin muslim.
Dalam menghadapi
kesulitan negara, khalifah tidak pernah bertindak sendiri, selalu mengutamakan
musyawarah 9demokratis). Mereka dipilih secara musyawarah. Mereka tinggal di
Madinah , yang juga menjadi pusat pemerintahan mereka, kecuali Ali bin Abi
Thalib yang memilih kufah di iraq sebagai ibu kota pemerintahannya. Setelah
periode ini kekhalifahan diwariskan secara turun temurun.
1. Abu
Bakar Ash-Shidiq (11-13H/ 632-634 M)
Dengan musyawarah
antar kelompok, terpilihlah Abu Bakar dari kelompok muhajirin yang berhasil
menduduki kekhalifahan, meskipun ia sudah lanjut usia. Nama aslinya adalah
Abullah bin Abi Quhafah at Tamimi. Pada masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah.
Kemudian oleh Nabi diganti Abdullah. Para sahabat menyebutnya Abu Bakar karena
pagi-pagi betul (paling dini/ paling awal) beliau masuk Islam.
Ia adalah mertua
Nabi dan orang yang keempat masuk Islam. Kehidupannya sangat sederhana. Ia
bahkan melakukan perjalanan bilak balik dari al-Sunh ke Madinah dan ia tidak
menerima gaji sepeserpun dari negara. Semua urusan agama diselesaikan di
serambi Masjid Nabi. Ia dikenal dengan sebutan al-Shiddiq (yang percaya) karena segera membenarkan Rasul dalam
berbagai peristiwa terutama Isra’ Mi’raj. Ia memiliki watak yang kuat, jujur
dan dinamis, berperawakan sedang, berwajah mungil dan berkulit cerah. Istilah khalifah Rasul Allah (penerus
rasulullah) dinisbatkan kepada kepada Abu Bakar. Pada masa kekhalifahan Abu
Bakar yang singkat yaitu dua tahun (632-634M) tepatnya 2 tahun 3 bulan 11 hari,
banyak terjadi peperangan riddah
(perang melawan pembelotan dan kemurtadan).
Jazirah Arab
diluar Hijaz yang tadinya merupakan daerah kekuasaan Nabi, menyatakan keluar
dan memisahkan diri. Suku-suku di Yaman, Oman, dan Yamamah tidak mau membayar
zakat ke Madinah. Alasan penolakan mereka antara lain wafatnya nabi menjadikan
batalnya perjanjian dan kecemburuan terhadap hegemoni Hijaz.
2. Umar
bin Khattab (13-23 H/ 634-644)
Setelah Abu
Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M, kepemimpinan diganti oleh Umar bin
Khattab. Beliau adalah anak dari Nufail al Quraisy dari suku Bani Adi. Tidak
jauh berbeda dengan Abu Bakar, Umar juga bergaya hidup sederhana dan hemat,
selain itu ia juga energik dan berbakat, berperawakan tinggi, kuat, dan agak
botak. Ia mencari penghidupan dengan cara berdagang. Ia dikenal dengan wataknya
yang terpuji, saleh, adil dan sederhana.
Umar dipilih
secara musyawarah antara Abu Bakar yang
sakit (ajalnya sudah dekat) dengan para sahabat. Kemudian Umar dibaiat sebagai
khalifah, dan ia memperkenalkan istilah Amir
al-Muminin (komondan orang-orang yang beriman). Ia menggunakan gelar khalifah khalifah Rasul Allah (penerus
penerus Rasulullah). Umar membentuk dewan formatur yang beranggotakan enam
orang yaitu Ali bin Abi Thalib, Usman bin ‘Affan, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah
bin Abdullah, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin ‘Auf.
Umar memerintah
selama sepuluh tahun enam bulan empat hari (13-23H/ 634-644 M). Ia meninggal
akibat dibunuh oleh seorang budak kristen dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah
ketika shalat subuh berjamaah di masjid Nabawi. Khalifah yang dalam terluka
membentuk syura (komisi pemilih) yang
akan memilih pemilih penerus kekhalifahannya. Beliau wafat setelah tiga hari
penikaman, 1 muharam 23 H/ 644M.
3. Usman
bin ‘Affan (23-35 H/644-654 M)
Setelah masa
pemerintahan Umar berkhir, enam orang sahabat kemudian bermusyawarah yaitu
Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqas, dan
Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka menunjuk Usman sebagai khalifah pengganti Umar.
Beliau bernama Usman bin ‘Aggan bin Abil Ash bin Umaiyah.
Usman merupakan
sosok yang saleh, mulia dan bijak meskipun sudah tua renta tetapi ia terlalu
lemah untuk menolak tuntutan kerabat dekatnya. Berbagai jabatan penting diisi
oleh suku Umayyah, keluarga khalifah. Senioritas kesukuan menjadi penentu
berbeda dari pendahulunya yang dari kalangan Muajirin.
4. Ali
bin Abi Thalib (35-40 H/ 656-661)
Setelah Usman
bin Affan meninggal, kekhalifahan diganti oleh Ali bin Abi Thalib bin Abdil
Muthalib. Ia dibaiat secara beramai-ramai oleh masyarakat. Ali diangkat sebagai
khalifah keempat di Masjid Nabawi Madinah pada
24 juni 656 M. Ia merupakan sepupu Nabi Muhamad, dan suami dari anak
Nabi yaitu fatimah yang melahirkan Hasan
dan Husein. Wataknya ramah, bersahabat, shaleh, dan pemberani. pemerintahanAli
bin Abu Thalib berlangsung selama 6
tahun (35-40 H/655-660M). Langkah pertama yang dilakukan adalah
memindahkan pusat pemerintahannya ke kufah.
Ali meyakini
bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran pemerintahan
yang ada pada pemerintahan Usman, terutama keluarga-keluarganya. Segera ia
memecat para gubernur yang diangkat oleh usman dan mengirim kepala daerah yang
baru yang menggantikan. Dia menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan
Usman kepada penduduk (keluarga dan kerabat Usman) dengan jalan yang tidak sah
dan melaksanakan kembali sistem pajak sebagaimana yang pernah diterapkan Umar
diantara umat Islam.
Menurut Harun Nasution dalam Muhaimin
(2011), secara garis besar sejarah (budaya) Islam terbagi menjadi 3 periode,
yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan
periode modern (1800 M-sekarang). Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam
segala aspek Islam menjadi yang terdepan pada periode klasik, terutama dalam
bidang pendidikan. Banyak ilmuwan dan pemikir-pemikir besar yang dilahirkan Islam
pada periode klasik. Hal ini tidak terlepas dari semangat untuk mempelajari
serta mengamalkan Al-Quran dan Hadits itu sendiri, keinginan yang kuat untuk
terus menimba dan mengembangkan ilmu pengetahuan, serta kesinambungan antara
ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya menjadikan umat Islam sangat unggul dalam
periode klasik.
Periode pertengahan merupakan periode
yang cukup kelam bagi perkembangan dunia Islam khususnya dalam bidang
pendidikan. Dalam periode ini Islam menjadi sangat tertinggal dari dunia barat
yang ironisnya kemajuan yang diraih dunia barat bersumber dari apa yang telah
dicapai Islam sebelumnya.
Semua menjadi terbalik bagi umat Islam,
tidak banyak ulama yang berani untuk mengembangkan keilmuannya, umat Islam
menjadi terkotak-kotak, kebergantungan yang kuat terhadap pemimpin negara
menjadikan Islam sedemikian tertinggal dan asing terhadap ilmu serta teknologi
yang sejatinya bersumber pada dunia Islam.
Angin perubahan dan pengembalian Islam
ke zaman keemasannya telah banyak dikumandangkan. Telah banyak bermunculan
kembali ulama-ulama yang tidak hanya berkutat pada disiplin ilmu keagamaan
tetapi juga ikut turut serta mengembangkan ilmu-ilmu lainnya. Namun kembali,
nampaknya periode 3 yang didefinisikan sebagai periode modern ini masih banyak
menimbulkan perdebatan. Kekhawatiran terbesar mucul dari anggapan modernisasi
yang dilakukan nantinya akan membawa umat Islam kedalam dunia westernisasi dan
sekulerisme.
Namun
bagaimanapun, modernisasi mutlak diperlukan, tidak dalam artian membawa umat Islam
ke dalam gaya hidup dan cara pandang barat tetapi modernisasi secara teknis di
lapangan. Harus diakui apa yang kita hadapi saat ini sangat berbeda dengan dua
zaman sebelumnya, tantangan akan semakin berat mengingat kerterbukaan yang
secara nyata dihadapi umat Islam sekarang ini. Akan sangat tidak mungkin
rasanya jika kita sebagai umat Islam masih menggunakan metode ataupun
teknik-teknik terdahulu. Di sinilah pentingnya perubahan (modernisasi) yang
harus dilakukan umat Islam, tentunya tidak terlepas dari landasan Al-Qur’an dan
Hadits yang merupakan landasan bagi umat Islam di zaman keemasannya.[17]
III.
KESIMPULAN
Di kalangan
ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Al
Qur’an dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk
memahami Al Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam Ulumul Qur’an mencakup ilmu-ilmu bahasa
Arab dan segala kajian yang berkaitan dengan ajaran Islam. Bahkan As Sayuthi
berpendapat, bahwa ilmu jiwa, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain sebagainya
juga termasuk Ulumul Qur’an. Hal itu didasarkan kepada firman Allah yakni QS.
An Nahl: 89.
Penerapan hukum Islam yang terjadi
pada masa sahabat lain dengan sekarang, baik dilihat dari kondisi maupun dalam
penerapannya. Semakin luasnya negara kekuasaan Islam menjadi salah satu alasan
dalam berkembangnya kedinamisan hukum Islam itu sendiri menyesuaikan dengan
kondisi sosial yang ada pada bangsa negara tersebut. Hal ini menunjukan bahwa hukum Islam itui sendiri
tidak bersifat baku akan tetapi selalu dinamis.
Menurut Harun
Nasution dalam Muhaimin (2011), secara garis besar sejarah (budaya) Islam
terbagi menjadi 3 periode, yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode
pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M-sekarang).
IV.
PENUTUPAN
Dengan
mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayat, serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami menyadari penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kata “sempurna”. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik lagi. Semoga
uraian-uraian yang kami sampaikan dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca.
Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Hidayat, Karakteristik Pendidikan Islam; Sebuah Pengantar Terhadap Pendidikan Islam,
disampaikan dalam perkuliahan Landasan Pendidikan Islam Magister Teknologi
Pendidikan Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta, 2011.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam.
Al-Suyuti,
Jalal al-Din, Tafsir al Ijtihad,
Mekkah: al Maktabah al- Tijariyyah, 1982.
Anderson,
Benendict, komunitas-komunitas imajiner: renungan tentang asal usul dan
penyebaran Nasionalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Ash-Shabuni,
Muhammad Ali, At Tibyan Fi Ulum Al Qur’an,
Jakarta: Dinamika Berkah Utama.
Ashshiddiqie,
Jimly, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian
Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional,
Jakarta, 27 September 2000.
Az
Zarkasyi Bin Abdullah, Badarudin Muhammad, Al
Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Beirut: Dar Jayl, 1988.
Az
Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al
Qur’an, Baerut: Dar Al Fikr, 1988.
Gibb,
H.A.R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Hasbi
A.S, Teungku Muhammad, Ilmu-ilmu Al Qur’an;
Sejarah Perkembangan Ilmu Al Qur’an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2002.
Hasan
Kholil, Rasyad, Dr., Tarikh Tasyri: Sejarah Legislasi Hukum Islam,
Jakarta: Amzah, 2009.
J. Coulson,
Noel, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: P3M, 1987.
Kholil,
Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta:
Amzah, 2009.
Tim penyusun
MKD IAIN sunan ampel, Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN SA Pers, 2011.
Yusuf,
Kadar M., Studi Al Qur’an; Mengenali Ulumul
Qur’an, Jakarta: Amzah, 2009.
[1]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
Hal. 87-88
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Hal. 77
[3]
Kadar M. Yusuf, Studi Al qur’an; Mengenali
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal. 1
[4]
Teungku Muhammad Hasbi A.S, Ilmu-ilmu Al
qur’an; Sejarah Perkembangan Ilmu Al qur’an, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2002), Hal. 1
[5]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, At Tibyan Fi
Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, tth), hal. 6
[6]
Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al
Qur’an, Jilid I, (Baerut : Dar Al Fikr, 1988), Hal. 127
[7]
Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al
Qur’an, Jilid I, (Baerut : Dar Al Fikr, 1988), Hal. 2
[8]
Badarudin Muhammad Az Zarkasyi Bin Abdullah. Al Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Jilid I, (Beirut: Dar Jayl, 1988), Hal.
17
[9]
Benendict
Anderson, komunitas-komunitas imajiner: renungan tentang asal
usul dan penyebaran Nasionalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), Hal. 13-40
[10]
H.A.R.
Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), Hal.
146
[11]
Noel,
J. Coulson, Hukum Islam dalam perspektif sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), Hal.
188-189
[13]
Jalal
al-Din al-Suyuti, Tafsir al ijtihad (Mekkah: al Maktabah al- Tijariyyah,
1982), Hal. 21-25
[14]
Tim
penyusun MKD IAIN sunan ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SA
Pers, 2011), Hal. 153-164
[15]
Jimly
Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian
Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional,
(Jakarta, 27 September 2000).
[16]
Dr.
Rasyad Hasan Kholil, Tarikh Tasyri: sejarah legislasi Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2009), Hal. 134-135
[17] Hidayat Abdullah, Karakteristik Pendidikan Islam; Sebuah
Pengantar Terhadap Pendidikan Islam, disampaikan dalam perkuliahan
Landasan Pendidikan Islam Magister Teknologi Pendidikan Universitas Islam
As-Syafiiyah, (Jakarta, 2011).
0 komentar:
Posting Komentar